Berita Otomotif dan Dunia Balap – Mobil Listrik Bebas Kebijakan pembebasan aturan ganjil-genap untuk mobil listrik (EV) di Jakarta awalnya di anggap sebagai insentif cerdas untuk mendorong penggunaan kendaraan ramah lingkungan. Namun, semakin banyak suara yang mempertanyakan apakah kebijakan ini masih relevan di masa depan. Salah satunya datang dari pihak industri itu sendiri.
EV Bebas Gage, Tapi Apakah Tepat Sasaran?
CEO Aion Indonesia, Andry Ciu, memberikan pandangan menarik terkait perkembangan mobil listrik di Tanah Air. Menurutnya, saat ini populasi kendaraan listrik masih belum signifikan untuk di anggap sebagai penyumbang kemacetan. Namun, hal itu bisa berubah.
“Sebenarnya kalau kita lihat dari market share mobil listrik, sekarang ini mendekati 10 persen dari total pasar yang sedang turun,” ungkap Andry.
Dengan kata lain, angka 10 persen ini bukan karena lonjakan besar penjualan mobil listrik, melainkan karena total pasar kendaraan secara umum sedang mengalami penurunan. Jadi, proporsinya terlihat besar, tapi sebenarnya volumenya belum signifikan.
“Apakah nanti ketika pasar otomotif naik, market EV masih tetap 10 persen atau justru turun? Atau, semoga saja justru naik. Tapi dengan volume sekarang, rasanya jalanan belum penuh oleh mobil listrik,” lanjutnya.
Pakar Transportasi Minta Evaluasi
Pandangan berbeda datang dari Djoko Setijowarno, akademisi dari Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia. MTI) Pusat Ia menilai bahwa kebijakan ini perlu di tinjau ulang agar tidak menjadi boomerang dalam. Pengelolaan transportasi di kota besar seperti Jakarta.
“Pemberian insentif berupa bebas ganjil-genap memang mendorong penjualan kendaraan listrik. Tapi dampaknya adalah meningkatnya jumlah kendaraan di jalan,” jelas Djoko.
Masalah utamanya terletak pada tujuan dari kebijakan ganjil-genap itu sendiri, yang pada. Dasarnya untuk mengurangi kemacetan, bukan sekadar mengalihkan jenis kendaraan. Jika kendaraan listrik terus bertambah tapi tidak di barengi dengan kontrol lalu lintas, maka Jakarta tetap akan macet—hanya bedanya, kini macetnya “lebih hijau”.
Kemacetan Hijau, Apakah Itu Solusinya?
Fenomena ini mengarah pada sebuah ironi: kendaraan tanpa emisi yang seharusnya menjadi solusi lingkungan malah bisa menjadi bagian dari masalah lalu lintas. Ini menjadi sinyal penting bahwa kebijakan transportasi perlu di sesuaikan dengan di namika terbaru di lapangan.
Satu sisi, insentif seperti bebas ganjil-genap memang mampu menarik minat masyarakat untuk beralih ke EV. Tapi di sisi lain, jika tidak di barengi dengan pembatasan jumlah kendaraan secara keseluruhan, maka tujuan awal kebijakan ganjil-genap menjadi kabur.
Kesimpulan: Saatnya Kebijakan Berbasis Data dan Proyeksi
Perkembangan teknologi kendaraan harus di barengi dengan kebijakan transportasi yang adaptif. Pemerintah perlu memikirkan kembali strategi jangka panjang untuk mengelola lalu lintas, dengan mempertimbangkan pertumbuhan kendaraan listrik yang cepat.
Apakah ke depannya EV masih layak mendapatkan keistimewaan di jalanan? Atau justru perlu di beri batasan seperti kendaraan lainnya?
Satu hal yang pasti, kebijakan yang “keren” bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal dampaknya terhadap kehidupan kota yang lebih tertib, lancar, dan berkelanjutan.






